Ilustrasi |
Tawakal itu sesuatu yang akrab dan asing, Akrab di mulut, namun asing di hati. Keakraban ini terbangun lantaran ia lazim kita sebut - sebut dalam setiap percakapan, dalam setiap doa yang kita zikirkan. Namun, pada saat bersamaan, kita sulit menghadirkan spirit (semangat) tawakal di dalam gerak - gerik hidup kita, di dalam sanubari kita.
Doa berikut ini, contohnya : Rabbana 'alayka tawakkalna wa ilayka anabna wa ilayka al-mashir ( Wahai Tuhan kami, pada MU lah kami bertawakal "berserah diri", kepada MU lah kami kembali, karena kepada Mu lah memang tempat kami kembali ). Sebagai seorang hamba Allah, seberapa seringkah kita sebut - sebut bacaan di atas dalam doa kita ? atau barangkali, kata - kata tawakal seperti ini ; tawakaltu 'alallah (Aku tawakal kepada Allah) dan seterusnya.
Seberapa banyakkah kalimat itu meluncur dari lidah yang biasa kita gunakan ?
Memang, menghadirkan tawakal dalam denyut aktivitas kita adalah hal yang susah - susah mudah. Tak bisa dipungkiri, sebagian kita sulit menghayati tawakal di dalam kalbu meski sudah berusaha menyebut - nyebutnya berkali - kali. Kita sudah bersungguh - sungguh ingin tawakal kepada Allah Swt., ingin berserah diri kepada-Nya secara total, namun seringkali juga, pada saat bersamaan, kegundahan hati terbit mengiringinya.
Terutama sekali ketika kita sedang dihadapkan pada persoalan - persoalan besar, masalah - masalah yang menyangkut harapan dan masa depan hidup di hari esok kelak. Kita kadangkala begitu khawatir apakah usaha yang sedang kita rintis ini bakal maju. Kita was - was apakah bisnis yang sedang kita jalani ini menyimpan prospek yang cerah, kita ragu - ragu apakah pekerjaan yang kita idam - idamkan itu bakal terwujud, kita takut apakah impian meraih prestasi terbaik itu betul - betul tercapai.
Semua tanda tanya itu berkecamuk dalam benak kita. Bahkan, ketika kita berusaha bertawakal, keragu - raguan dan kekhawatiran itu belum juga menentramkan lubuk hati terdalam kita. Disinilah, menurut hemat penulis, kalbu terasa asing dengan kata - kata tawakal. Kenapa demikian ? Kenapa tawakal menjadi sesuatu yang asing ?
TAWAKAL DAN PROBLEM TAKUT MANUSIA
Sejatinya, bicara tawakal adalah berbincang - bincang soal kepercayaan. Demikianlah hakekat yang dapat digali dari kata tawakal. Sebab, secara bahasa, kata tawakal (tawakal dalam bahasa Arab-nya), ialah wikalah yang bermakna mewakilkan, menyandarkan, menyerahkan, atau mempercayakan suatu perkara kepada orang lain. Menurut Dr. Yunasril Ali dalam buku Ruh Dan Jenjang - Jenjang Ruhani, kata tawakal ini hampir semakna dengan kata Islam yang berarti kepasrahan atau kepatuhan.
Kedua kata tersebut menyiratkan adanya kepercayaan yang mendalam yang berujung pada kepasrahan. Dengan kata lain, seseorang akan memasrahkan urusannya kepada orang lain, karena orang itu memang benar - benar sangat dipercayainya. Tanpa kepercayaan yang mendalam, niscaya tidak ada kepasrahan yang tulus.
Dalam ranah ibadah, kepercayaan itu terletak bukan pada manusia lagi melainkan pada Allah Swt. Selaku Zat Maha Kuasa. Kepada-Nyalah, kita mempercayakan segala urusan, kita mempasrahkan segala perkara. Inilah makna tawakal yang diusung kaum sufi, Bahwa tawakal ialah sikap ruhani yang pasrah kepada Allah, yang muncul karena keyakinan yang mendalam kepada-Nya. Allah berfirman : ".... Dan hanya kepada Allah, hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar - benar orang yang beriman." (QS. Al-Maa-idah : 23).
Begitulah kepercayaan menjadi inti tawakal. Dan, pada bagian ini pula gerbang konflik batin seorang hamba Allah dimulai. Pasalnya, ia yang selama ini sibuk dengan pernak - pernik kemanusiaan, ketika ber-tawakal diminta secara legowo (lapang dada) melepaskan 'aku-insaniyah'-nya. Ia diharapkan mampu membuang jauh - jauh sisi kemanusiaan yang masih melekat di dalam diri-nya.
Sementara itu, pada saat bersamaan, ketika bertawakal, ia diharapkan mampu menghadirkan "DIa-Ilahiyah', Allah Azza Wajalla yang tidak mampu dilihat secara kasat mata itu, sebagai benteng terakhir kepercayaan. ia dianjurkan belajar meyakinkan diri bahwa urusannya itu, baik-buruknya, bagus-jeleknya, bakal di tanggung oleh-Nya.
Dalam ber-tawakal ini, sebetulnya, ia sedang mencoba mengatasi problem ruang dan waktu antara ia dan Tuhan. Ia yang di sini dengan Dia yang di sana. Sederhananya seperti ini : perkaranya di sini harus ia percayakan ketentuannya dengan Allah yang di sana. Pada titik ini, seseorang belajar membayangkan TUhan sebagai mitra kerjanya, sebagai tangan kanannya dalam berbisnis.
Problem 'jarak' inilah yang kadangkala membuat batin seorang hambar sering tidak tentram. rasa takur dan bimbang selalu membayang - bayanginya meski ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk bertawakal. Sebab, di sini, ia yang selama ini terbiasa mempercayakan urusan dengan sesama manusia, harus belajar mempercayakan urusan dengan Tuhan semata. Ia, yang terbiasa secara arogan (angkuh) mendeteksi impian dan harapannya bakal terwujud berdasarkan perhitungan matang manusiawinya, harus belajar memasrahkan hasilnya kepada Allah semata.
"Laa Takhaaf wa laa tahzan, innallah maana, jangan takut berduka, sesungguhnya Allah bersama kita," demikian Allah berkata dalam suatu firman sebagai jaminan buat hamba - hambaNya yang dirundung gelisah dan dukacita. Dia yang bakal menemani dan menanggung beban kita, urusan hidup kita dan Dia-Lah yang maha tahu apa yang terbaik buat kita. Atau juga dalam ayat berikut ini : "Katakanlah : 'Sekali - kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanyalah kepada Allah orang - orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At-Taubah : 51). Lalu, kenapa kita masih ragu - ragu untuk seratus persen tawakal kepada-Nya ?
Sebaliknya, bila kondisi takut ini terus dipelihara. Maka itu berarti seorang hamba Allah bukan menggantungkan nasib harapan dan impian masa depannya berdasarkan kehendak dan kekuasaan Tuhan, melainkan pada kehendak non-Tuhan. Bukankah dengan demikian, ia secara terang - terangan, telah menggadaikan tauhidnya ? Ia telah menjadi musyrik lantaran tekanan takut dan gelisah yang mencekam.
Dalam hal ini, saya teringat puisi Dr. Muhammad Iqbal, penyair Islam terkemuka abad modern asal Pakistan yang berjudul : "Laa Takhaf wa Laa Tahzan." Wahai kau yang dibelenggu rantai takut dan gelisah
Pelajarilah mutu kata Nabawi : "Laa Tahzan" Jangan takut tak berketentuan. Jika adalah padamu Tuhan Yang Maha Kuasa
Lemparkanlah jauh - jauh segala takut dan bimbang. Lemparkan cita untung dan rugi, Kuatkan iman sekuat tenaga Dan kesankanlah berkali - kali dalam jiwamu : "La Khaufun 'Alaihim" Tiada resah dan gentar pada mereka bagi zaman 'kan datang.
Bila Musa pergi kepada Fir'aun Hatinya membaja oleh mutu kata "Laa Takhaf, janganlah takut dan bimbang" Siapa yang telah mempunyai semangat al-Musthafa Melihat syirik dalam setiap denyut dan luapan takut - bimbang.
Dari sinilah, tawakal mengambil perannya. Ia tidak sekedar melapangkan hati dan riuh rendah gelisah tapi juga menghancurkan benih - benih syirik yang begitu tersembunyi. Tak aneh bila Ibn Qayyim al-Jawziyyah memaknai tawakal secara lebih mendalam. Baginya, tawakal itu bukan sekedar istislam (bersikap pasrah dalam menerima paa yang diperbuat Allah atas idri kita tafwidh (mengembalikan segala urusan kepada Allah), dan menggantungkan jiwa kepada Allah serta merasa tentram dengan-Nya, tapi juga berbaik sangka kepada Allah diiringi dengan kemantapan hati dalam tauhid.
Lebih dari itu, Imam al-Ghazali sendiri menekankan bahwa iman merupakan tempat - tempat tumbuhnya tawakal. Subuh atau gersang tawakal tergantung pada iman sebagai tempat tumbuhnya. Jadi, tawakal muncul dari adanya keyakinan yang mendalam kepada Allah, sehingga menimbulkan rasa pasrah diri kepada-Nya. Turun naiknya kepasrahan itu senantiasa terkait dengan berkurang-tambahnya iman yang menjadi landasannya.
Dengan cara inilah, tawakal itu dapat membentuk mental seorang muslim menjadi pribadi yang optimis dalam mengarungi bahtera kehidupan. Ia tidak merasa rugi atau menderita bila usahanya gagal sebab di hatinya sudah terpatri keyakinan kalau Allah akan memilihkan jalan terbaik untuknya. "... Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Al-An'aam : 48).
SALAH KAPRAH MENILAI TAWAKAL
Ironisnya, berdasarkan pengertian di atas, tawakal seringkali di maknai secara serampangan oleh sebagian orang. Mereka menilai, berpasrah diri secara total kepada Ilahi adalah tindakan yang tidak butuh kerja dan ikhitiar yang sungguh - sungguh. Karena, toh, semuanya sudah diatur ketentuannya oleh Allah Yang Maha Kuasa. begitu kira - kira anggapan salah kaprah bertawakal ini mengemuka.
"Dan (Dia) memberinya rizki dari arah yang tiada disangka - sangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS. Ath-Thalaq : 3) Ayat ini, biasanya, menjadi acuan kelompok yang cenderung fatalis itu (anggapan bahwa rezeki itu tidak perlu dicari sebab dia akan datang dengan sendirinya karena Tuhan sudah menjaminya).
Padahal, Firman tersebut mengabarkan dua perkara, pertama, Dia memerintahkan kita untuk bekerja keras ; dan kedua, Dia menyuruh kita untuk tidak menggantungkan rezeki kepada selain-Nya. Karena Dia-lah yang nantinya akan memberi rezeki. Dalam ayat lain Allah Swt memperkuatnya, "Apa bila kamu telah berbulat tekad, maka tawakallah kepada Allah," (QS. Al-Imran : 159).
Hal ini yang kemudian juga diperteguh Nabi Saw. dalam sebuah hadist yang diriwayatkan al-Tirmidzi dari Anas r.a. bahwa ada seorang pria yang mengendarai unta datang kepada Nabi Saw. sambil berkata, "Aku tinggalkan untaku dan aku bertawakal !" Lalu Nabi Saw, bersabda, "Ikatlah untamu, baru bertawakal !"
Melalui pernyataan Nabi diatas, kiranya, dapat disimpulkan bahwa antara berusaha dan tawakal tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Keduanya saling melengkapi. Berusaha bukan berarti meninggalkan tawakal dan sebaliknya, bertawakal bukan berarti meninggalkan usaha. Semoga saja, sebenar - benarnya tawakal dapat memberi berkah tiada terkira. Karena Rasulullah Saw, bersabda : "Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar - benar tawakal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana buruk diberi rezeki, pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang," (HR. An-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah). Wallahu 'alam bil shawab.
0 comments:
Posting Komentar