Ilustrasi Sakaratulmaut |
Kematian (maut atau ajal), walau pasti terjadi dan dialami oleh semua makhluk hidup, tetap merupakan misteri yang saat terjadinya tidak dapat dipastikan. Ini karena memang penentu dan otoritas tunggalnya adalah Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Yunus ayat 49 (yang maknanya) : "Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) dapat mempercepatnya."
Oleh karena itu, kemungkinan dilakukannya perekaman detik - detik kematian amatlah mustahil, kecuali dalam kasus pelaksanaan hukuman mati atau dengan melakukan eutanasia (mempercepat kematian secara medis).
Dalam perspektif fiqih (hukum Islam), segala upaya dan perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja maupun tidak disengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan : pezina muhshan (yang sudah berkeluarga), pembunuh dengan sengaja, dan murtad kemudian memushi Islam (HR Abu Dawud dan an-Nasai-iy dari Aisya ra).
Selain alasan di atas, segala tindakan yang berakibat kematian orang lain dikategorikan sebagai perbuatan jarimah (tindak pidana) yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian, eutanasia karena termasuk salah satu dari jarimah maka dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana.
Hal ini didasarkan antara lain pada firman Allah SWT dalam surat Al Isra' ayat 33 (yang maknanya) : "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT (membunuhnya) melainkan dengan alasan yang benar."
UJI KESABARAN
Eutanasia terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului qada' (keputusan) Allah SWT. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah SWT kepadanya, yakni berupa kesabaran dan ketawakkalan kepada-Nya, Rasulullah Saw bersabda (yang maknanya) : "Tidaklah menimpa seorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan dari yang menusuknya, kecuali Allah SWT menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakan-Nya itu." (HR Al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra).
Dan sabda beliau : "Janganlah ada orang yang menginginkan mati karena kesusahan yang dideritanya. Apabila harus melakukannya hendaklah dia cukup berkata, ya Allah, tetap hidupkan aku selama kehidupan itu baik bagiku dan wafatkanlah aku jika kematian baik untukku," (HR Al Bukhari).
Dalam praktiknya, para dokter tidak mudah melakukan eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya eutanasia dan merupakan hak pasien yang menderita sakit yang secara medis diyakini tidak bisa lagi disembuhkan. Akan tetapi, dokter tidak dibenarkan melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien. Hal ini karena bertentangan dengan kode etik kedokteran dan undang - undang negara mana pun terkait dengan penghilangan nyawa orang lain.
TIDAK LAZIM
Merekam detik - detik kematian jika untuk kepentingan dokumentasi terkait dengan hukum dan demi kemaslahatan umum yang dilakukan oleh instansi pemerintah, maka diperbolehkan karena tidak adanya larangan eksplisit, baik dalam Alquran maupun hadis.
Hal ini dasarkan pada kaidah ushul fiqih : al-Ashlu fil asy-yaa' al-ibaachah, chattaa yadullad daliilu 'alattachriim (pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya), dan kaidah : Tasharruful imaam 'alarra 'iyyah manuuthun bilmashlahah (tindakan pemimpin terhadap rakyat itu harus didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan).
Tetapi, jika perekaman itu dilakukan dengan tujuan akan dijadikan konsumsi publik, maka pasti akan memancing kontroversi dan memancing perdebatan. Secara fiqih formal (perspektif hukum) memang sulit dicarikan landasan pelarangannya, karena tidak ada satu pun ayat atau hadis yang secara eksplisit melarang hal ini.
Bahkan, jika tujuannya sebagai peringatan bahwa kematian adalah kepastian yang banyak diabaikan orang, sehingga dengan penayangan demikian mereka akan terperingatkan, maka diperbolehkan. Allah SWT mengingatkan : "Dan datanglah sakaratulmaut dengan sebenar - benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya," (QS Qaaf ayat 19).
Namun secara fiqih moral (perspektif etika), menurut saya penayangan detik - detik kematian adalah tidak lazim dan tidak layak, apalagi jika kemudian tujuan indzaar (memberi peringatan) tersebut tidak tercapai. Saya yakin banyak pihak dari semua agam juga keberatan, bahkan menentangnya.
Salah seorang di antara mereka adalah Dr Peter Saunders, direktur kelompok anti-eutanasia "Care Not Killing" berpendapat, bahwa tayangan tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan. Dia mengatakan : "Mungkin kami tidak bisa menghalangi rencana BBC Two tersebut (penayangan detik - detik kematian), tapi kami rasa kematian adalah sesuatu yang sangat pribadi dan personal. Peristiwa ini sudah sangat sensitif tanpa harus ditayangkan secara luas di televisi." Wallahu a'lam.
0 comments:
Posting Komentar