Ilustrasi |
Pernikahan yang disyariatkan Islam sejatinya bertujuan menautkan dua hati antara seorang laki-laki mukmin dan perempuan mukminah. Mukmin manapun bebas menentukan pilihan kepada siapa hatinya akan ditambatkan; apakah kelak pendamping hidupnya seorang gadis, ataukah janda.
Begitu pula dengan wanita mukminah. Status duda atau masih lajang tidak menjadi kendala untuk melangsungkan pernikahan. Asalkan beriman dan mampu, ia bisa menikahi wanita mukmin.
Namun Allah memberi aturan tegas bahwa tidak semua wanita mukminah bsia dinikahi. Dalam al-Qur'an disebutkan secara tegas sejumlah wanita yang haram dinikahi karena dianggap memiliki hubungan nasab (kekerabatan). Mereka ini disebut dengan mahram.
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, antar lain kebolehan berkhalwat (berduaan), kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam suatu perjalanan (safar) lebih dari tiga hari asal ditemani mahramnya.
Akan tetapi hubungan mahram yang selain itu, adalah mahram sekedar haram untuk dinikahi, tetapi tidak membuat halalnya berkhalwat, bepergian berdua, atau melihat sebagian dari auratnya. Hubungan mahram model ini disebut sebagai hubungan mahram yang bersifat sementara saja.
Wanita yang haram dinikahi (mahram) disebut dalam al-Qur'an surat An-NIsa, ayat 23. "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini merinci beberapa kriteria orang yang haram dinikahi sekaligus menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah ibu kandung, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, saudara-saudara perempuan bapak (bibi), saudara-saudara perempuan ibu (bibi), anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki (keponakan), anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang perempuan (keponakan), ibu-ibu yang menyusui saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu dari istri (mertua, ibu dari ibu mertua dan seterusnya ke atas), anak-anak istri yang dalam pemeliharaan (diasuh) istri yang digauli, serta istri-istri anak kandung (menantu).
KLASIFIKASI MAHRAM
Para ulama membagi dua klasifikasi mahram: mahram yang bersifat abadi, yaitu keharaman yang tetap akan terus melekat selamanya antara laki-laki & perempuan, apa pun yang terjadi antara keduanya. Lalu, mahram bersifat sementara, yaitu kemahraman yang sewaktu-waktu berubah menjadi tidak mahram, tergantung tindakan-tindakan tertentu terkait dengan syariah yang terjadi.
Para ulama membagi mahram yang bersifat abadi ini menjadi 3 kelompok berdasarkan penyebabnya.
Pertama, karena sebab hubungan nasab, nasab ibu kandung dan seterusnya ke atas seperti nenek, ibunya nenek, anak wanita dan seterusnya ke bawah (cucu, cicit dan seterusnya), saudara kandung wanita, anak perempuan dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan (keponakan), bibi dari pihak ayah maupun ibu.
Kedua, karena hubungan pernikahan (perbesanan/ipar) seperti ibu dari istri (mertua wanita) dan seterusnya ke atas yang segaris (nenek dari ibu mertua dan seterusnya), anak wanita dari istri (anak tiri dan seterusnya ke bawah yang segaris), istri dari anak laki-laki (menantu perempuan), istri dari ayah (ibu tiri dan seterusnya ke atas), dan anak tiri yang diasuh oleh ibu tiri.
Ketiga, karena hubungan akibat persusuan. Yakni ibu yang menyusui. Karena ia menjadi ibu bagi anak yang disusuinya. Ibu dari ibu yang menyusui (nenek), karena ia telah menjadi neneknya. Ibu dari suami wanita yang menyusui, karena ia juga telah menjadi neneknya, saudara perempuan ibu yang menyusui, karena ia menjadi bibi bagi yang disusui, saudara perempuan dari suami ibu yang menyusui, karena ia juga menjadi bibi bagi yang disusui dari pihak bapak, cucu perempuan dari ibu yang menyusui, karena mereka adalah keponakan bagi anak yang disusui tersebut.
MAHRAM YANG BERSIFAT SEMENTARA
Kemahraman yang bersifat sementara ini gugur dengan sendirinya bila terjadi sesuatu, misalnya karena meninggal atau perceraian. selain itu, kemahraman ini semata-mata mengharamkan pernikahan saja, tapi tidak membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat & bepergian bersama.
Mereka adalah saudara ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi, tapi juga tidak boleh khalwat atau melihat sebagianh auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri. Namun bila hubungan suami-istri dengan saudara dari ipar itu sudah selesai, baik karena meninggal atau pun karena cerai, maka ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi. Demikian juga dengan bibi dari istri.
KONDISI TERTENTU
Islam juga melarang seorang laki-laki menikahi sejumlah perempuan dalam kondisi tertentu, seperti:
Wanita yang bersuami (muhshanah) hingga diceraikan suaminya dan menyelesaikan masa iddahnya. "Dan diharamkan juga bagi kalian menikahi wanita-wanita yang bersuami." (QS. An-Nisa ayat 24).
Wanita yang sedang menjalani masa iddah baik karena perceraian maupun karena kematian suaminya hingga ia menyelesaikan masa iddahnya. Pada saat menjalani masa iddah tersebut juga diharamkan untuk melamarnya. Akan tetapi, tidak ada larangan untuk menyatakannya dengan sindiran (lihat QS. Al-Baqarah ayat 235).
Wanita yang telah ditalak tiga (ba'in) hingga ia dinikahi laki-laki lain yang kemudian berpisah karena perceraian maupun kematian dan telah menyelesaikan masa iddahnya (lihat QS. Al-BAqarah ayat 230).
Menikahi secara berbarengan (mempoligami wanita yang bersaudara). Abu Hurairah mengungkapkan bahwa Rasulullah telah melarang menikahi seorang wanita berikut bibinya dari pihak bapak atau bibinya dari pihak ibunya (Muttafaqun 'alaih, serta hadits riwayat Tirmidzi), atau dengan kata lain memadu keponakan dengan bibinya. Juga, tidak boleh dinikahi seorang wanita kecil (adik) bersama yang wanita yang sudah besar (kakak), tidak juga wanita yang sudah besar (kakak) bersama yang masih kecil (adik), misalnya mempoligami adik dengan kakaknya. Namun bila salah satunya telah bercerai atau meninggal, maka menikahi yang lainnya dibolehkan. Misalnya telah bercerai dari si adik, lalu menikahi kakanya, atau dikenal dengan istilah turun ranjang.
Pada ulama tidak berselisih pendapat dalam hal ini, seperti yang diyakini Syeikh Kamil Muhammad Uwaidah dalam Fiqih Wanita, yakni tidak dibolehkannya seorang laki-laki menikah secara bersama-sama.
Dalam keadaan Ihram. Seorang yang sedangd alam keadaan berihram baik untuk haji atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain. Tapi begitu ibadah ihramnya selesai, boleh dinikahi.
Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. Namun ketika tidak mampu menikahi wanita merdeka, boleh menikahi budak.
Wanita pezina. Terlarang menikahi wanita selama dia masih aktif melakukan zina. Sebaliknya, ketika wanita itu sudah bertaubat dengan taubat nasuha, umumnya ulama membolehkan.
Menikahi istri yang di-li'an, yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat.
Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah. Namun begitu wanita tersebut masuk Islam atau masuk agama Ahli Kitab, dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.
0 comments:
Posting Komentar